Selasa, 15 Januari 2008

Datang Tak Terduga


Seorang pemenang, juara yang telah mengalahkan ego diri sendiri adalah

seorang dengan disiplin yang kuat.

Agar tahu pentingnya waktu dalam setahun,

tanyakan pada murid yang tidak naik kelas.

Agar tahu pentingnya waktu dalam sebulan

tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi prematur.

Agar tahu pentingnya waktu sejam

tanyakan pada kekasih yang sedang menunggu.

Agar tahu pentingnya waktu semalam

tanyakan pada orang yang ketingglan pesawat.

Agar tahu peningnya waktu sedetik,

tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari keelakaan.

Agar tahu semili detik,

yanyakan pada peraih medali perak olimpiade.


Kamis, 10 Januari 2008

Hilangnya Taring Sang Kucing Garong

Sejak dimunculkannya MPO dalam tubuh HMI, organisasi yang.........

Posting Tulisan Mantan Pengurus KPN HMI

Menggerakkan Nasionalisme Dalam Islam
Oleh :LUKMAN WIBOWO

Sebagian dari kita mungkin tidak menyadari tentang keunikan umat Islam bangsa ini. Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya bangsa muslim yang menggunakan aksara latin untuk bahasa nasionalnya. Selain Indonesia, semua bangsa muslim di belahan dunia mempergunakan huruf arab, kecuali dua: Turki karena nasionalisasi negara oleh Musthafa Kemal dan Bangladeh dengan huruf Bengali yang tetap dipertahankan sebagai bagian dari nasionalismenya. Dalam pada itu, Indonesia juga satu-satunya negara di Asia yang menuliskan bahasa nasionalnya dengan huruf latin, dimana semua bangsa Asia memakai huruf nasionalnya masing-masing.

Maka, dalam konteks ini—bagi Nurcholis Madjid (1992 : 5)—Indonesia itu sangat unik, dan termasuk komunitas muslim yang paling sedikit ter-“arab”-kan. Komunitas muslim di Indonesia berada dalam lingkungan budaya besar melayu (Malayu-Islamic Civilization) yang meliputi Asia Tenggara. Karakter khas—istilahnya Cak Nur—Archipelagic Islam (Islam Kepulauan) di Asia Tenggara, termasuk Indonesia ditunjukkan dengan model keberislaman yang begitu kaya dengan berbagai macam citarasa kebudayaan yang pernah muncul di dunia serta mempunyai tingkat toleransi antar umat beragama yang sangat tinggi. Artinya dari sudut pandang ini, bahwa untuk keIslaman di Indonesia, salah satu point yang terpenting adalah bagaimana adanya penegakan moralitas kebangsaan (nasionalism morality) atas nilai-nilai Islam itu sendiri.

Distorsi Makna Nasionalisme

Nasionalisme dan Islam memang mempunyai definisinya sendiri-sendiri. Akan tetapi keduanya dapat berjalan dalam kepentingan positif yang sama. Adagium yang menyatakan cinta tanah air adalah sebagian dari iman, menunjukkan suatu prinsip yang menghargai “lokalitas ruang dan waktu” dimana bangsa itu hidup, dengan tetap mengindahkan nilai-nilai universal Islam yang rahmatan lil alamin. Setidaknya begitulah hipotesis idealnya. Namun pada tataran yang real, kita banyak dihadapkan oleh persoalan politik kekuasaan—baik dalam kepentingan penguasa negara (internal) maupun internasional.

Secara internal kenegaraan, pada kenyataannya makna nasionalisme sering kali terlihat sebagai sebuah proses yang ”digurui” oleh elit penguasa. Kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam menafsirkan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi (Sulfikar Amir, 2005). Contohnya saja, nasionalisme yang didefinisikan oleh Orde Baru tidak berangkat dari visi keindonesiaan yang terbuka. Nasionalisme di masa Orba dibangun atas perekonomian kapitalisme internasional. Menurut pemerintah Orba, ekonomi adalah parameter utama bagi sebuah stabilitas politik, dan tesis itu diukur manakala rezim Orde Lama terperosok lantaran tata perekonomian negara yang amat lemah. Kegagalan membangun pondasi ekonomi oleh Orde Lama, memang layak dijadikan pelajaran, tetapi bukan berarti lalu perekonomian bangsa kita harus menghamba kepada kekuatan modal asing.

Di masa pra-reformasi, kekerasan sosial-politik yang dibingkai atas nama Asas Tunggal Pancasila (ATP, tahun 1985) dan kekerasan fisik oleh militerisme, pada klimaksnya benar-benar telah mengubur visi keislaman-kebangsaan dalam nasionalisme Indonesia. Ketika itu, negara memiliki otoritas penuh dalam mendefinisikan nasionalisme, dan sekaligus berhak menjustifikasi siapa yang disebut sebagai nasionalis dan siapa yang tidak. Pemaknaan nasionalisme ”ciptaan sang penguasa” lalu diseminasi melalui berbagai lembaga (seperti: institusi sekolah, media massa, maupun doktrin negara) dengan strategi penataran-penataran, menyusun kurikulum pro-penguasa, dan sebagainya.

Sementara, di era paska-reformasi ini, model nasionalisme ala Orba belum sepenuhnya hilang. Beberapa daerah masih ada yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Ini tentu sebuah kritik, bahwa kampanye nasionalisme oleh pemerintah kurang bersendikan pada anasir keadilan sosial. Selebihnya, definisi nasionalisme masih belum beranjak dari dominasi kekuasaan, terutama kuasa kaum pemodal dan elit birokrat.

Kepentingan Kapitalisme Global

Dari segi kepentingan internasional, kapitalisme global bersungguh-sungguh ingin menjadikan semua bangsa di dunia sebagai satu-kesatuan yang seragam—yang meminjam istilah Alexander Kojeve, sebagai “masyarakat homogen universal”—dalam ideologi materialisme. Tiga strategi kapitalisme (yaitu: Ideologisasi politik melalui demokrasi liberal, cengkeraman ekonomi melalui neoliberalisme, serta penyeragaman budaya melalui pola kosumerisme) bekerja demi tujuan ke arah masyarakat tersebut. .Melalui gerakan globalisasinya, potensi keanekaragaman kultural dan kearifan lokal (local wisdom), dengan sendirinya akan tercerabut dari akar kehidupan berbangsa kita.

Francis Fukuyama, seorang pemikir bermazhab materalisme, teramat yakin bahwa cita-cita globalisasi sebagai babak akhir sejarah dunia (the end of history), pasti terwujud. Bahkan kepada kelompok-kelompok yang masih percaya dan memperjuangkan eksistensi nasionalisme, “ejekan” Fukuyama begitu tajam: …akhir sejarah (kemenangan globalisasi) akan merupakan saat yang “menyedihkan”. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, kesediaan mengorbankan nyawa untuk tujuan yang benar-benar abstrak, perjuangan ideologis dan idealisme digantikan oleh perhitungan ekonomis, dan pemuasan tuntutan konsumen yang bercita rasa tinggi.

Dari titik permasalahan inilah, seharusnya Islam di Indonesia hadir bukan hanya sebagai ritual dan estetik simbolisasi, melainkan sebagai penguatan atas nilai-nilai etik nasionalisme dalam proses kebangsaannya.

Globalisasi Versus Universalisasi Islam

Universalisasi nilai Islam dan globalisasi, pada pengertian berupaya melintasi sekat-sekat apapun di belahan dunia, mungkin bisa dikatakan sama. Tetapi, keduanya saling bertolak belakang secara ideologis dan tujuan yang hendak dicapainya.

Globalisasi mengandung ideologi materialisme yang berambisi menjadikan seluruh umat manusia masuk dalam kerangka pandang (point of view) kapitalistik. Segalanya diukur melalui kepuasan ragawi, dan pemenuhan ekonomi ansich. Dalam konteks kejiwaan, materialisme sebenarnya tidak memerdekakan manusia dari nafsu keinginan duniawi, melainkan pada ujungnya manusia akan merasa terbelenggu oleh hasratnya untuk berkuasa (will to power). Secara otomatis, kerakusan pada segala hal, akan melanda manusia. Korupsi, eksploitasi alam, dan pola hidup konsumtif, hanyalah satu dari sekian efek negatif dari pengaruh ideologi materialisme.

Lain halnya dengan globalisasi, universalisasi Islam adalah ikhtiar untuk menanamkan kesadaran moral yang kokoh pada manusia untuk menunaikan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi. Misi kekhalifahan itu bermaksud menjadikan dunia sejahtera dalam asas keadaban, keadilan, serta egaliterian—dan tentu saja menghargai keanekaragaman sosial budaya manusia di berbagai wilayah dunia.

Di samping itu, perlu digarisbawahi bahwa universalisasi Islam hanya menekankan pada aspek practical value (penerapan nilai) Ilahiyah, bukan berpretensi pada penyeragaman identitas beragama. Ini berarti, umat muslim berkomitmen menghadirkan nuansa keilahian bagi seluruh pluralitas bangsa.

Menggerakkan Nasionalisme Islam

Semantik serta pendefinisian Islam niscaya mengalami penekanan implikasi yang berbeda dimana suatu bangsa itu hidup dan berkembang. Demikian pula pada definisi nasionalisme. Islam yang berarti “penyelamatan” dan nasion (bhs Latin, nascor) yang bermakna “saya lahir” atau “tanah kelahiran”, dalam konteks kekinian Indonesia, dapat disatukan misinya. Oleh karena itu, jika definisi nasionalisme Indonesia di arahkan pada usaha menjaga "menyelamatkan tanah air” dalam rangka memandirikan dan mensejahterakan masyarakatnya, misi ini sama sekali tidak berlawanan dengan visi keislaman yang universal.

Untuk itu, kiranya ada dua agenda kerja umum yang mesti dipertegas dalam konsepsi nasionalisme Islam Indonesia, yakni: mempertahankan kedirian bangsa (nationalist personality) dan melawan hegemoni eko-politik asing.

Pertama, umat Islam Indonesia harus tetap menyatakan “negara ini ada”. Negara nasion Indonesia yang sudah terbukti korup, tidak dengan serta merta lalu kita biarkan lenyap dari panggung teritorial dunia. Justru, adalah tugas kaum muslim untuk menghapus praktik-praktik KKN dan eksploitatif dari sistem pemerintahan. Nasionalisme harus diimplementasikan pada partisipasi sosial-politik kita dalam kenegaraan.

Di saat yang sama, nasionalisme di dalam Islam sepatutnya tumbuh sebagai perjuangan memperkuat jati diri bangsa Indonesia yang humanis, jujur, tak individualis, dan bermoral. Gerak nasionalisme ini bekerja keras dalam usaha mengembalikan citra diri maupun pribadi yang sejati. Pribadi bangsa yang besar namun bersahaja, kaya akan kebudayaan namun toleran pada perbedaan, dan memiliki sifat welah asih yang mendalam. Bukan bangsa yang korup, tidak mandiri, konsumtif, dan menjadi ekor bagi kekuasaan neoliberalisme internasional, seperti saat ini.

Kedua, ruang-ruang pengambilan kebijakan publik yang terbuka saat ini dapat digunakan untuk membantu pemerintah dalam rangka keluar dari tekanan neoliberalisme yang sedang melakukan proses stateless. Penghilangan ”fungsi negara” merupakan fenomena serta konsekuensi dari sistem tersebut. Karenanya, diperlukan perlawanan kuat dalam payung common platform dari seluruh elemen bangsa (nations) terhadap kekuatan-kekuatan penyangga neoliberalistik.

Lebih lanjut, nasion Indonesia harus dimaknai sebagai medan jihad dalam berislam. Seperti yang sudah dipahami, Islam memang tidak mengenal batas-batas teritorial ataupun rasialitas dalam perjuangannya. Namun sebagai lingkup kewilayahan bangsa muslim terbesar di dunia, Indonesia pantas dibela sebagai konsep iman yang mencakup cinta pada tanah air. Artinya, nasionalisme diperkuat di ”medan teritorial” Indonesia dalam kerangka dakwah Islam yang bervisi mensejahterakan alam semesta.

Lukman Wibowo

Dosen Akademi Widya Buana Semarang

Mantan Ketua Umum HMI Korkom Unnes Raya (Periode 2001-2002)