Rabu, 13 Agustus 2008

Kepemimpinan Nasional

Kepemimpinan SBY dalam Psikoanalisa Anak Tunggal
Oleh : Lukman

Di tengah hiruk-pikuk perjalanan bangsa Indonesia yang sedang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), penulisan "karakter politik" tentangnya ini disusun bukan sebagai sebuah pledoi yang bertendensi subjektifitas atau berapologi. Pasalnya, perlu ditegaskan bahwa penulisan ini dibuat berdasarkan teori psikoanalisa, untuk melihat diri SBY dari sudut kejiwaan dan pengalaman masa lalunya. Dan di sisi yang lain, tulisan ini sekadar berupaya hadir untuk memperkaya wacana biografis seseorang yang dianggap bertanggung jawab terhadap fluktuasi laju kebangsaan serta kenegaraan Republik Indonesia.
Tulisan ini juga disusun dengan meletakkan sejauh mungkin keberpihakan politiknya kepada SBY; bukan berarti "menghitam-putihkan", melainkan menempatkan posisinya seobjektif dan seproporsional mungkin.
Sederhananya, coretan ini merupakan sejenis biografi murni berikut karier dan perjalanan hidup SBY sebagai seorang manusia biasa yang memiliki plus-minus kepribadiannya.
***
SBY lahir dari lingkungan keluarga yang bisa dikatakan prihatin. Sang ayah, yang pada saat itu bertugas sebagai Komandan Komando Rayon Militer (Danramil) dengan kewenangan mencakup satu kecamatan, tidak berarti berkecukupan secara ekonomi. Sebagai seorang bintara berpangkat pembantu letnan satu (peltu), gajinya sangat kecil. Ditambah lagi daerah tersebut termasuk wilayah terpencil dan tandus, pun sepi dari "proyek". SBY kecil—sebagai bagian dari masyarakat Pacitan—amat akrab dengan gaplek dan tiwul sebagai makanan sehari-hari. Kehidupan sebagian besar orang di kawasan itu, memang sedemikian bertumpu pada pohon singkong.
Kendati kondisi perekonomiannya anjlok, namun sebenarnya SBY bukanlah tergolong dari keturunan "biasa". Ayahnya, Raden Soekotjo, termasuk sosok terpandang di lingkungannya. Soekotjo adalah turunan salah seorang pendiri Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo. Darah bangsawan mengalir dari kedua orang tuanya, keturunan Naib Anjosari II (Majapahit) dan Sultan Hamengku Buwono III.
Sebagai anak tunggal pasangan Soekotjo dan Siti Habibah—SBY yang lahir seusai adzan Dzuhur, 9 September 1949—cukup memperoleh kasih sayang keluarga. Soekotjo yang menjabat sebagai Danramil selama empat periode pada beberapa kecamatan di Pacitan, menanamkan disiplin dan kerja keras pada dirinya.
***
Waktu bergulir. SBY beranjak dewasa. Beliau mulai berpikir untuk keluar daerah mencoba mengadu nasib, tuntutan dan harapan. Perceraian kedua orangtuanya—saat ia masih duduk di bangku SMP—adalah pukulan getir yang mengajarkannya tentang siklus hidup yang memang tak mudah untuk ditempuh. Cita-cita masa kecilnya menjadi tentara, segera dirajutnya. Tahun 1970 SBY masuk Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di Magelang. (Dimana dua tahun sebelumnya, SBY pernah menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut Teknologi 10 November, Surabaya). Di Akabri, tahun 1973 beliau menyabet predikat lulusan terbaik dengan lencana Adhi Makasaya, yang langsung diserahkan oleh Presiden Soeharto. Karier militernya terus menanjak selama 26 tahun berikutnya.
Setelah itu, SBY menyelesaikan karier kemiliterannya sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI yang kemudian berubah nama karena reformasi menjadi Kepala Staf Teritorial TNI tahun 1998-1999.
Bersamaan dengan masa finishing karier militernya itu, SBY dan keluarga tinggal di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Dari wisma yang dibangun di atas tanah seluas lebih dari 3.000 meter tersebut, SBY lekas merangkai mimpinya untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Menjadi pemenang bukan hal baru dalam kehidupan Jenderal (Purn) SBY. Sesuai dengan namanya yang kira-kira berarti "sosok penuh kesetiaan dan selalu memenangi peperangan", semenjak lahir hingga menjabat sebagai Presiden ke-6 RI sekarang ini, memang berbagai "peperangan" sudah berhasil beliau taklukan. Kini, di tengah kembang-kempis situasi dan kondisi bangsa—sebagai seorang kepala negara—akankah SBY mampu menggenapi seluruh kemenangannya?
Kejiwaan Anak Tunggal
Liku-liku perjalanan hidup SBY tersebut, tak bisa dilepaskan dari pengalaman masa kecilnya, terlebih faktor kejiwaannya sebagai seorang anak semata wayang yang dibina langsung oleh orangtuanya.
Alfred Adler (1870-1937), seorang tokoh psikologi individual, menjelaskan bahwa anak tunggal dengan pendidikan dan pengayoman yang baik akan menjadi manusia yang dapat diunggulkan, karena mereka cenderung tampil perfect di depan umum, membuat perhatian publik agar tetap tertuju padanya. Ciri menonjolnya, akan selalu berupaya tampil charming dan mengontrol diri secara ketat (Kompas, 2004).
Eksplikasi tentang anak tunggal ala Adler, membawa pada sketsa kemiripan mengenai sisi kejiwaan SBY. Menurut cerita teman-temannya, SBY ini tindak-tanduknya terjaga, santun, karismatik, serta menunjukkan perhatian kepada orang lain.
Kata Adler, kebutuhan untuk terus diperhatikan, mendorongnya untuk cenderung menjaga perasaan orang lain. Sehingga tipologi orang seperti ini akan berusaha menjauhi hal-hal yang mungkin menyakiti orang lain. Ia senantiasa berupaya menjadi penengah, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan suka melakukan tindakan yang populer.
Seperti gambaran Adler, sejarah hidup SBY memang mengindikasikan posisinya sebagai anak tunggal yang secara psikologis punya pengaruh besar dalam pembentukan kepribadiannya. Susilo, demikian teman-teman sebaya kecilnya memanggil beliau, sering dijadikan sebagai pemimpin. SBY juga begitu gandrung membaca bermacam buku. Bacaan-bacaan tersebut membentuk sifat intelektualnya. SBY menjadi tempat bertanya teman-temannya tentang banyak hal, terutama ilmu berhitung, sejarah, dan ilmu bumi.
Dalam bukunya SBY Sang Demokrat (2004) diterangkan bagaimana ia berteladan pada ayah, yang membuatnya berdedikasi tinggi ketika menjalankan tugas. Sementara keterpisahannya dengan orangtua adalah peristiwa yang mencemaskan, lalu membuat SBY tumbuh menjadi anak yang belajar mandiri.
Di sisi yang berbeda, indikasi lain yang didapat dari anak tunggal, menurut Adler, adalah peragu dan bersikap terlalu hati-hati. Ini mirip dengan sikap yang dipersepsikan tentang diri SBY. Kecerdasannya memungkinkan ia mengambil keputusan yang rasional. Ia bisa saja mengambil keputusan secara cepat dan tegas, namun hal itu biasanya hanya terjadi ketika ruang lingkup masalah dikuasainya, dan tidak berkaitan dengan kepentingan orang-orang yang dekat dengannya. Selebihnya, ia lambat dan sering bimbang.
Menghindari Konflik
Pengalaman hidup dan sifat-sifat yang tumbuh, membentuk diri SBY menjadi orang yang berkarakter seperti saat ini. SBY percaya bahwa kehidupan politik adalah harmoni dan manusia yang terlibat di dalamnya bertujuan untuk bekerja sama memenuhi kebutuhan serta meningkatkan kesejahteraan bersama (Kompas, 2004).
SBY cenderung menggunakan kata kerja (verb) yang mengandung arti harmonis, kesesuaian, dan kerjasama, seperti mempertemukan, konsolidasi, memahami, memelihara, atau menaungi. Kepercayaan ini sejalan dengan kebijakannya yang cenderung meminimalisir konflik dan "cari aman".
Dalam motif sosial, yang menonjol dari diri SBY adalah kebutuhan prestasi dan afiliasi. Seirama dengan kebutuhannya untuk menjadi orang yang dapat diandalkan, ia terdorong untuk bekerja keras dan berupaya memperoleh hasil maksimal. Kesan keragu-raguan dan lambatnya dalam menentukan sikap, sangat mungkin didasari oleh kebutuhan afiliasinya.
Dengan karakteristik kepribadian yang dimilikinya, SBY bisa tampil sebagai pemimpin yang layak diunggulkan; SBY mampu menampilkan prestasi kepemimpinannya, jika ia menyadari segala kekurangannya lalu mau menutupinya dengan cara memilih "teman yang tepat".
Jika tidak—seperti umumnya anak tunggal yang sering salting (salah tingkah) lantaran terlalu diperhatikan—SBY terancam gagal meraih kemenangan selanjutnya.


Lukman Wibowo—Pemerhati Karakter; Penulis, tinggal di Semarang

Tidak ada komentar: